Beranda | Artikel
Menuduh Istri Selingkuh
Selasa, 12 Januari 2021

MENUDUH ISTRI SELINGKUH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Saat kaum muslimin kurang peduli dengan aturan-aturan syari’at, maka efek negatif menjadi sebuah keniscayaan, cepat ataupun lambat. Misalnya, yang berkenaan wanita yang keluar rumah dengan penampilan yang tidak sesuai syari’at plus tanpa kebutuhan mendesak. Akibatnya, sering memancing perbuatan kriminal. Isu pergaulan bebas serta isu kesetaraan gender yang sering digembar-gemborkan berbagai media massa, menambah suasana semakin parah. Akhirnya, biduk rumah tangga yang selama ini adem ayem mulai dihantui berbagai problem dan diterpa badai fitnah. Mulai dari tuduhan selingkuh yang diarahkan kepada pasangan hidup, meragukan anak yang terlahirkan dari rahim sang istri sebagai anak dia bahkan sampai pada tahap penolakan terhadap anak yang dilahirkan istri. Artinya, sang suami menuduh istrinya berzina dengan orang lain. Bagaimanakah hukumnya dan bagaimana solusinya ?

Menuduh Selingkuh Adalah Dosa Besar
Dalam Islam menuduh seorang wanita muslimah berbuat zina adalah perkara besar dan termasuk dosa besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

“Hindarilah oleh kalian  tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya: “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharam oleh Allah k kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh zina terhadap wanita suci yang sudah menikah dan lengah. ” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Oleh karena itu Islam menetapkan hukuman khusus bagi seorang yang menuduh orang lain berzina kemudian tidak mampu mendatangkan empat saksi yang melihat langsung kejadiannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ – اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[an-Nûr/24: 4-5].

LI’AAN SOLUSINYA
Permasalahannya adalah bila seorang lelaki mendapatkan istrinya berzina dengan lelaki lain dan tidak memiliki saksi dalam hal ini. Ia tidak mungkin menerima hal itu begitu saja namun tidak berdaya karena tidak memiliki saksi. Untuk menuntaskan problem ini, syari’at menetapkan Li’ân atau Mulâ’anah.

Pengertian Li’ân atau Mulâ’anah.
Kata Li’ân (اللعَان) dan Mulâ’anah (الملاعنة) adalah kata dasar (Mashdar) dari لاَعَنَ – يُلاَعِنُ – مُلاَعَنَةً وَ لِعَانًا  bermakna melaknat. Kata Li’ân mengikuti pola (wazan) فِعَال  yang secara umum menunjukkan perbuatan itu berasal dari dua arah. Sehingga makna li’ân dalam bahasa Arab adalah saling melaknat diantara dua orang.[1]

Sedangkan menurut ulama syari’at, Li’ân adalah persaksian-persaksian yang ditegaskan dengan sumpah dengan menyebut nama Allah, diiringi kalimat laknat dan kalimat kemurkaan.[2]

Proses persaksian ini dinamakan Li’ân karena si lelaki (si Suami) menyatakan : ‘bahwa la’nat Allah atasku, jika Aku termasuk orang-orang yang berdusta’. Lafadz ini (laknat-red) diambil (sebagai nama-red) tanpa melihat lafazh al-Ghadhab (yang dipergunakan untuk menguatkan pesaksiaan sang istri-red) walaupun keduanya ada pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat an-Nûr/24 ayat ke 6 – 9 , juga karena lafazh laknat lebih dulu disebutkan daripada lafazh al ghadhab serta pihak suami (lelaki) lebih kuat dari pihak wanita, karena sang suami mampu memulai dengan laknat.

Ada juga yang menyatakan bahwa hal itu dari kata laknat yang bermakna pengusiran dan penjauhan dank arena setiap pasangan suami istri tersebut menjauhi pasangannya dan diharamkan antara keduanya melakukan hubungan pernikahan selama-lamanya.[3]

Sebab Li’ân
Li’ân diadakan dengan sebab tuduhan zina (selingkuh) dari seorang suami yang diarahkan ke istrinya namun dia tidak mampu mendatangkan empat saksi. Syaikh Shâlih al-Fauzan menuturkan : ‘Apabila seorang lelaki menuduh istrinya berzina maka ia harus menegakkan bukti saksi atas tuduhan tersebut. Apabila tidak bisa, maka ia akan dikenai hukuman penuduh zina. Hukuman ini tidak bisa gugur darinya kecuali dengan bersaksi untuk dirinya empat kali disertai sumpah dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ia termasuk orang yang jujur dan kelima mendoakan kecelakaan untuk dirinya dengan melaknat (dirinya) apabila berdusta. Jika ia telah melakukan hal ini maka dia terbebas dari hukuman penuduh zina.[4]

Syariat Li’ân.
Li’ân atau Mulâ’anah disyariatkan dalam islam dengan dasar al-Qur`an, Sunnah dan Ijmâ’.

Dari Al-Qur`an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَاۤءُ اِلَّآ اَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ اَحَدِهِمْ اَرْبَعُ شَهٰدٰتٍۢ بِاللّٰهِ ۙاِنَّهٗ لَمِنَ الصّٰدِقِيْنَ وَالْخَامِسَةُ اَنَّ لَعْنَتَ اللّٰهِ عَلَيْهِ اِنْ كَانَ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ وَيَدْرَؤُا عَنْهَا الْعَذَابَ اَنْ تَشْهَدَ اَرْبَعَ شَهٰدٰتٍۢ بِاللّٰهِ اِنَّهٗ لَمِنَ الْكٰذِبِيْنَ ۙ وَالْخَامِسَةَ اَنَّ غَضَبَ اللّٰهِ عَلَيْهَآ اِنْ كَانَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.[an-Nûr/24 : 6-9]

Sedangkan dari sunnah diantaranya hadits Sahl bin Sa’ad as-Sâ’idi Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

أَنَّ عُوَيْمِرَ أَتَى عَاصِمَ بْنَ عَدِيٍّ وَكَانَ سَيْدَ بَنِيْ عَجْلاَن فَقَالَ كَيْفَ تَقُوْلُوْنَ فِيْ رَجُلٍ وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً أَيَقْتُلُهُ فَتَقْتُلُوْنَهُ أَمْ كَيْفَ يَصْنَعُ سَلْ لِيْ رَسُوْلَ اللهِ عَنْ ذَلِكَ ! فَأَتَى عَاصِمٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ – فَكَرِهَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَسَائِلَ- فَسَأَلَهُ عُوَيْمِرُ فَقَالَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَرِهَ الْمَسَائِلَ وَ عَابَهَا. قَالَ عُوَيْمِرُ: وَ اللهِ لاَ أَنْتَهِي حَتَّى أَسأَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ. فَجَاءَ عُوَيْمِرُ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ! رَجُلٌ وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً أَيَقْتُلُهُ فَتَقْتُلُوْنَهُ أَمْ كَيْفَ يَصْنَعُ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَدْ أَنْزَلَ اللهُ الْقُرْآنَ فِيْكَ وَ فِيْ صَاحِبِكَ. فَأَمَرَهُمَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُلاَعَنَةِ بِمَا سَمَّى اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَلاَعَنَهَا ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ حَبَسْتَهَا فَقَدْ ظَلَمْتَهَا فَطَلَّقَهَا فَكَانَتْ سُنَّةً لِمَنْ كَانَ بَعْدَهَا فِيْ الْمُتَلاَعِنَيْنِ ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : انْظُرُوْا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَسْحَم أَدْعَج الْعَيْنَيْنِ عَظِيْم الأَلْيَتَيْنِ خَدَلَّج السَّاقَيْنِ فَلاَ أَحَسَبُ عُوَيْمِرًا إِلاَّ وَقَدْ صَدَقَ عَلَيْهَا وَ إِنْ جَاءَتْ بِهِ أُحَيْمِر كَأَنَّهُ وَحَرَةٌ فَلاَ أَحْسَبُ عُوَيْمِرًا إِلاَّ وَقَدْ كَذَبَ عَلَيْهَا. فَجَاءَتْ بِهِ عَلَى النَّعْتِ الّذِيْ نَعَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ تَصْدِيْقِ عُوَيْمِرٍ فَكَانَ بَعْدُ يُنْسَبُ إِلَى أُمِّهِ

Sesungguhnya ‘Uwaimir Radhiyallahu anhu mendatangi ‘Ashim bin ‘Adi Radhiyallahu anhu yang beliau adalah kepala bani ‘Ajlân seraya berkata: Bagaimana pendapatmu tentang seorang yang mendapati seorang lelaki bersama istrinya, apakah ia boleh membunuhnya lalu kalian (balas-red) membunuhnya atau bagaimana ia harus berbuat ? Tanyakanlah hal ini untukku kepada Rasulullah! Lalu ‘Ashim Radhiyallahu anhu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : “Wahai Rasulullah! – Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai pertanyaan seperti itu- lalu ‘Uwaimir Radhiyallahu anhu bertanya kepada Ashim Radhiyallahu anhu dan ia jawab bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai pertanyaan tersebut dan mencelanya. ‘Uwaimir Radhiyallahu anhu berkata : ‘Demi Allah ! aku tidak akan berhenti sampai aku bisa bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu. Lalu ‘Uwaimir Radhiyallahu anhu datang dan berkata : Wahai Rasulullah! Seorang lelaki mendapatkan lelaki lain bersama istrinya, apakah ia boleh membunuhnya lalu kalian (akan balas-red) membunuhnya atau bagaimana seharusnya ia berbuat ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Al-Qur`an tentangmu dan istrimu. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan  keduanya bermulâ’anah (saling melaknati) dengan yang telah Allah sebutkan dalam kitabNya. Lalu keduanya melakukan mulâ’anah. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kamu menahan dia berarti kamu menzhaliminya.” Lalu Uwaimir Radhiyallahu anhu menceraikan istrinya. Kemudian  jadilah itu sebagai sunnah bagi generasi setelah keduanya dalam mula’anah. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :  “Perhatikanlah! Apabila perempuan itu melahirkan anak yang hitam, bermata lebar dan hitam, pantatnya besar dan kedua betisnya besar, maka aku yakin bahwa ‘Uwaimir jujur dalam hal ini dan bila melahirkan anak yang putih kemerahan, maka saya yakin bahwa ‘Uwaimir telah berdusta.
Lalu wanita itu melahirkan seorang bayi yang memiliki sifat seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kejujuran ‘Uwaimir.  Setelah itu, anak tersebut dinasabkan kepada ibunya.[5]

Demikian juga hadits Anas Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

إِنَّ هِلاَلَ بْنَ أُمَيَّةَ قَذَفَ امْرَأَتَهُ بِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ وَكَانَ أَخَا الْبَرَاءِ بْنِ مَالِكٍ لِأُمِّهِ وَكَانَ أَوَّلَ رَجُلٍ لاَعَنَ فِي الْإِسْلَامِ قَالَ فَلَاعَنَهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصِرُوهَا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَبْيَضَ سَبِطًا قَضِيءَ الْعَيْنَيْنِ فَهُوَ لِهِلَالِ بْنِ أُمَيَّةَ وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ جَعْدًا حَمْشَ السَّاقَيْنِ فَهُوَ لِشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ قَالَ فَأُنْبِئْتُ أَنَّهَا جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ جَعْدًا حَمْشَ السَّاقَيْنِ

Sesungguhnya  Hilal bin Umayyah Radhiyallahu anhu menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahma` Radhiyallahu anhu . Hilal Radhiyallahu anhu adalah saudara seibu dari al-Barâ‘ bin Mâlik Radhiyallahu anhu dan beliau adalah lelaki pertama yang melakukan mulâ‘anah dalam Islam. Beliau berkata : Lalu Hilal Radhiyallahu anhu melakukan mulâ‘anah terhadap istrinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabad : “Pehatikanlah wanita itu! apabila ia melahirkan anak yang putih, berambut lurus dan matanya tidak bening maka ia milik Hilal bin Umayyah dan bila melahirkan anak berbola mata hitam, keriting dan kedua betisnya kecil, maka ia dari Sarik bin Sahma`. Anas Radhiyallahu anhu berkata: Saya diberitahu wanita itu melahirkan anak yang berbola mata hitam, keriting dan kecil kedua betisnya. [6]

Adapun Ijmâ, maka al-Hâfidz Ibnu Hajar telah menukilkan Ijmâ’ atas pensyariatan Li’ân. [7]

Hikmat Pensyariatan Li’ân.
Diantara hikmah pensyariatan li’ân yaitu untuk menjaga nasab dan menolak aib dari suami.[8]

Syarat Sah Li’aan
Li’ân diterapkan apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut :

  • Disyaratkan pada suami yang menuduh selingkuh terhadap istrinya, tidak mampu mendatangkan empat saksi atas tuduhannya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyaratkan hal itu dalam firmanNya :

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ اَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَاۤءُ اِلَّآ اَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ اَحَدِهِمْ اَرْبَعُ شَهٰدٰتٍۢ بِاللّٰهِ ۙاِنَّهٗ لَمِنَ الصّٰدِقِيْنَ

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. [an-Nûr/24 : 6]

  • Wanita yang tertuduh bukan dikenal sebagai pezina dan mengingkari tuduhan zina tersebut.[9]
  • Wanita yang tertuduh adalah istri penuduh yang dinikahi dengan pernikahan syar’i, baik telah digauli ataupun belum.[10]
  • Tuduhannya berupa zina atau menolak anak yang dilahirkan wanita tersebut sebagai anaknya atau mengingkari kehamilannya.[11]
  • Li’aan terjadi dari suami istri yang baligh dan berakal (Mukallaf). Karena sebuah persaksian tidak bisa diterima dari yang tidak mukallaf.[12]
  • Dimulai dari pihak suami dan jumlah persaksiannya empat kali.[13]
  • Hal ini dilakukan dihadapan Qâdhî (Hakim atau wakilnya), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Hilal bin Umayyah menghadirkan istrinya dan melakukan mulâ’anah dihadapan beliau n .[14]

Proses Pelaksanaan Li’ân.[15]
Dapat disimpulkan dari nash al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa prosesi li’ân adalah sebagai berikut:

  • Pelaksanaan mulâ’anah disunnahkan dihadapan halayak yang menyaksikannya.
  • Kedua pasangan suami istri tersebut berdiri ketika mulâ’anah agar dapat disaksikan orang banyak
  • Al-Qâdhi atau hakim mulai dengan mengingatkan mereka berdua untuk bertaubat sebelum memulai acara mulâ’anah tersebut.
  • Hakim memulai dengan sang suami lalu menyuruhnya berdiri dan mengatakan: Ucapkanlah empat kali kata:

 أَشْهَدُ بِاللهِ إِنِّيْ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ فِيْمَا رَمَيْتُ بِهِ زَوْجَتِيْ هَذِهِ مِنَ الزِّنَا

Saya bersaksi dengan nama Allah, sungguh saya jujur dalam semua tuduhan zina yang saya arahkan kepada istri saya ini !.

Seandainya li’ân karena mengingkari anak yang dilahirkan maka qâdhi (hakim) memerintahkannya untuk menyatakan:

 أَشْهَدُ بِاللهِ لَقَدْ زَنَتْ وَمَا هَذَا الْوَلَدُ بِولَدِيْ

(Saya bersaksi dengan nama Allah bahwa wanita ini telah berzina dan anak ini bukan anak saya).

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat yang membolehkan li’ân dengan selain bahasa Arab.[16]

  • Ucapan diatas diucapkan suami sebanyak empat kali.
  • Hakim memerintahkan suami tersebut meletakkan tangannya dimulutnya kemudian menyatakan : Bertakwalah engkau kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menasehatinya dengan menyebut adzab akherat lebih mengerikan dari adzab dunia dan sejenisnya.
  • Apabila suami menarik li’ânnya maka ia dihukum dengan hukuman al-Qâdzif (penuduh zina).
  • Apabila tetap bersikukuh maka ia mengucapkan yang kelima:

وَعَلَيَّ لَعْنَةُ اللهِ إِنْ كُنْتُ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ

Semoga laknat Allah menimpa saya apabila saya berdusta.

Dengan ini maka ia terbebas dari jerat hukuman.

  • Kemudian hakim menyatakan kepada sang wanita : “Pilihlah ! kamu mengingkari atau kamu dihukum dengan hukuman pezina. Apabila ia tidak mengingkari maka dihukum dengan hukuman pezina (Rajam).
  • Apabila bersikukuh pada mulâ’anah maka ia berkata :

 أَشْهَدُ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِيْنَ

(Saya bersaksi dengan nama Allah bahwa ia (suaminya-red) bohong) sebanyak empat kali.

  • Kemudian hakim memintanya berhenti untuk memberikan nasehat dan memberitahukan bahwa ini dapat menyebabkan kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya.
  • Apabila ia menarik persaksiannya tadi dan mengakui telah berzina maka dihukum dengan hukuman pezina.
  • Apabila ia tetap melanjutkan pengingkarannya maka diperintahkan untuk menyatakan :

وَعَلَيَّ غَضَبُ اللهِ إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ

Semoga kemurkaan Allah menimpa saya apabila ia termasuk orang yang jujur.

Kemudian iapun terbebas dari tuntutan hukum dan mulâ’anah telah terlaksana. Dengan  demikian, semua konsekwensi akibat li’ân mulai berlaku pada sepasang suami istri ini.

Konsekwensi dari Li’aan.
Setiap keputusan dan hukum memiliki konsekwensi, demikian juga Li’ân. Ia memiliki beberapa konsekwensi sebagai akibat dari mulâ’anah tersebut. Diantara konsekuensi-konsekuensi tersebut :

  • Keduanya terbebas dari jeratan hukum, baik hukuman sebagai penuduh zina (Haddul Qâdzif ) atau hukuman zina. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat an-Nûr ayat 6-9.
  • Wanita tersebut tidak boleh dituduh berzina untuk yang kedua kali dan tidak boleh dikatakan ia telah berzina setelah proses mulâ’anah. Demikian juga anaknya tidak boleh disebut anak zina.[17]
  • Kedua pasangan suami istri harus dipisah .[18] Sebagaimana dijelaskan dalam hadits ibnu Umar Radhiyallahu anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ e لاَ عَنَ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ ، فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا ، وَاَلْحَقَ الْوَلَدَ باِلْمَرْأَةِ 

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan mulâ’anah antara seorang dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.[19]

  • Perpisahan mereka adalah faskh (penggagalan akad pernikahan) bukan talak (cerai).[20] Demikianlah yang dirajihkan ibnu al-Qayyim Radhiyallahu anhu dalam Zâd al-Ma’âd.
  • Pasangan suami istri tersebut dipisah selama-lamanya dan tidak boleh berkumpul lagi baik dengan ruju’ atau pernikahan baru.[21]
  • Wanita tersebut berhak mendapatkan maharnya dan tidak boleh lelaki tersebut mengambilnya apabila mereka berdua pernah berhubungan suami istri.[22]
  • Wanita tersebut tidak berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah dari suaminya tersebut.
  • Anak yang lahir setelah mulâ‘anah nasabnya terputus dari nasab bapaknya dan dinasabkan kepada ibunya.[23]
  • Adanya waris mewaris antara wanita tersebut dengan anak mulâ’anah tersebut.

Demikianlah kami sajikan secara ringkas permasalahan mulâ’anah. Semoga pembahasan yang ringkas ini bermanfaat.

Wabillahi taufiq.

Maraji’.

  1. Tashîlul-Ilmâm Bi Fiqhil-Ahâdîts Min Bulûgh al-Marâm, Syaikh Shâlih bin Abdillah al Fauzân, cetakan pertama tahun 1427 tanpa penerbit.
  2. asy-Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, cetakan lengkap Muassasah Ibnu ‘Utsaimin.
  3. al-I’lân Bi Fawâ`id ‘Umdah al-Ahkâm, Ibnu al-Mulaqqin, tahqiq Abdul’Aziz bin Ahmad al-Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1421 H, dar al-‘Ashimah.
  4. al-Bayân Fi Madzhab al-Imâm asy-Syâfi’i, Yahya al-Ya’mari, tahqiq Qaasim bin Muhammad an-Nuuri, dar al-Minhâj
  5. Shahîh Fikhis-Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin As-Sayyid Sâlim, al-Maktabah at-taufîqiyah.
  6. Al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzdzab –bagian yang disyarah Muhammad Najieb al-Muthi’i-, Dar Ihyaa’ at-Turats al-‘Arabi.
  7. Fat-hu al-Bâri Bi Syarhi Shahîh al-Bukhâri, al-Hâfizh Ibnu Hajar, Maktabah Salafiyah. Dll.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII/1429/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Lihat, asy-Syarhu al-Mumti’ 13/283
[2]  Tashîl al-Ilmâm Bi Fiqhi al-Ahâdîts Min Bulûgh al-Marâm, Syaikh Shâlih bin Abdillah ali Fauzân 5/43 dan lihat juga asy-Syarhu al-Mumti’ 13/283.
[3] lihat al-I’lân Bi Fawâ`id ‘Umdatil-Ahkâm, Ibnu al-Mulaqqin, 8/419 dan al-Bayân Fi Madzhab al-Imâm asy-Syâfi’I, Yahya al-Ya’mari 10/401
[4]  lihat Tashîl al-Ilmâm, 5/43 dan al-Majmû’ Syarhu al-Muhadzdzab 19/106.
[5] HR Bukhâri no. 4745 (lihat Fat-hul-Bâri 8/448) dan Muslim no. 1492
[6]  HR Muslim no 2749.
[7] Lihat Fathul Bâri 9/440.
[8] lihat al-I’lân Bi Fawâ`id ‘Umdah al-Ahkâm, Ibnu al-Mulaqqin, 8/419
[9] Syarat pertama dan kedua diambil dari Shahîh Fikh Sunnah, Abu Mâlik 3/382-383.
[10]  Lihat Syarhu al-Mumti’ 13/285
[11] Lihat Shahîh Fikh Sunnah 3/385 dan Syarhu al-Mumti’ 13/287
[12]  Lihat Syarhu al-Mumti’ 13/288-289.
[13]  Ibid 13/289
[14]  Ibid 13/295
[15] Diambil dari Shahîh Fikih Sunnah 3/387-388.
[16]  Lihat tarjih beliau ini dalam syarhu al-Mumti’ 13/304.
[17] Zâd al-Ma’âd 5/361
[18] Lihat Zâd al-Ma’âd 5/349 dan Syarhu al-Mumti’ 13/304
[19]  HR al-Bukhâri, Kitâbuth-Thalâk, Bab Yulhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah. Lihat Fathul Bâri 9/460.
[20]  Lihat Zâd al-Ma’âd 5/351 dan Shahîh fikh Sunnah 3/392-393
[21]  Lihat Zâd al-Ma’âd 5/351 dan Syarhu al-Mumti’ 13/304
[22] Lihat Shahîh fikh Sunnah 3/394 dan Zâd al-Ma’âd 5/354.
[23]  Tentang hal ini silahkan merujuk kepada mabhats status anak zina hal.????


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/26975-menuduh-istri-selingkuh-2.html